Senin, 07 Desember 2015
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikannya dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini disusun sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan, Walaupun makalah ini kurang sempurna dan memerlukan perbaikan tapi juga agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Kerajaan islam di Indonesia”, yang kami memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca.
Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun.
BAB I
PENDAHULUAN
• Latar Belakang Masalah
Aceh yang terkenal dengan sebutan, “Kota Serambi Mekkah” merupakan tempat di mana berkembangnya agama Islam pertama di Indonesia. Diperlihatkan dari letak geografisnya, dimana Aceh sendiri terletak di ujung barat Pulau Sumatera dan dekat dengan Selat Malaka yang saat itu menjadi pintu pusat lalu lalangnya kapal-kapal saudagar antara belahan bumi Barat dan Timur dapat diperhitungkan sejak awal abad ke 1.Namun dengan sendirinya meningkat lalulintas perdagangan dan kemampuan hidup masyarakat sekaligus memungkinkan terbangunnya suatu pemerintahan atau kerajaan-kerajaan terutama di Aceh seperti Kerajaan Jeumpa, Lamuri, Samudra Pasai dan lain-lain yang menganut agama Islam.Pada saat itu Sumatera sudah kaya akan hasil Bumi dan Alamnya jadi tidak salah pada masa itu bangsa India menyebutnya dengan sebutan Swarnadwipa (Pulau Emas).Selain berdagang, para saudagar-saudagar tersebut juga pelan-pelan menyebarkan agama yang mereka pahami dan dibawa dari bangsa mereka, salah satunya yaitu agama Islam. Sebelum masuknya agama Islam ke Aceh, terlebih dahulu sudah ada agama serta kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan budha di Aceh.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah dan perkembangan Kerajaan Aceh ?
2. Hal Apa saja yang mengakibatkan Kerajaan Aceh mengalami kemunduran?
1.3 Manfaat
Makalah ini diharapkan bermanfaat, baik dari aspek teoritis maupun praktis. Secara teoritis tergambar dalam materi tulisan ini. Adapun secara praktis, tulisan ini diharapkan dapat berguna bagi individu, masyarakat, dan pemerintah. Semoga menjadi bahan pembelajaran yang baik bagi tunas bangsa yang ingin mempelajarinya.
Daftar Isi
Kata Pengantar………………………………………………………………………………1
BAB I Pendahuluan
• Latar Belakang…………………………….………………………………………………2
• Rumusan Masalah…………………………………………………………………………2
• Manfaat…………………………………………………………………………………….2
BAB II Pembahasan
2.1 Sejarah Awal Mula…………………………………………………………………………4
2.2 Masunya Kolonialisme Barat………………………………………………………………7
2.2.1 Masa Keemasan di Masa Sultan Iskandar Muda……………………………….12
2.2.2 Keruntuhan Kesultanan Aceh Darussalam……………………………………..19
2.3 Silsilah…………………………………………………………………………………….21
2.4 Wilayah Kekuasaan
2.4.1 Wilayah Aceh Raja……………………………………………………………..23
2.4.2 Wilayah Luar Aceh raja………………………………………………………..23
2.4.3 Daerah yang Berdiri Sendiri……………………………………………………23
2.4.4 Sistem Pemerintahan……………………………………………………………24
2.4.5 Kondisi Sosial-Ekonomi……………………………………………………….27
2.3.6Awal Berkembangnya Hukum Adat Di Aceh
2.3.7 Hukum Adat Berbasis Agama
BAB III Penutup
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………………….28
3.2 Saran………………………………………………………………………………………28
Daftar Pustaka…………………………………………………………………………..…..29
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Awal Mula
Kesultanan Aceh Darussalam memulai pemerintahannya ketika Kerajaan Samudera Pasai sedang berada di ambang keruntuhan. Samudera Pasai diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami kemunduran pada sekitar abad ke-14, tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat kerajaan Islam pertama di nusantara itulah benih-benih Kesultanan Aceh Darussalam mulai lahir. Kesultanan Aceh Darussalam dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada sebelumnya, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura (Indrapuri).
Dari penemuan yang dilacak berdasarkan penelitian batu-batu nisan yang berhasil ditemukan, yaitu dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di Kutaraja (Banda Aceh). Pendiri sekaligus penguasa pertama Kesultanan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 Hijriah atau tanggal 8 September 1507 Masehi.Keterangan mengenai keberadaaan Kesultanan Aceh Darussalam semakin terkuak dengan ditemukannya batu nisan yang ternyata adalah makam Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang berada di Kandang XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus 1530. Selain itu, ditemukan juga batu nisan lain di Kota Alam, yang merupakan makam ayah Sultan Ali Mughayat Syah, yaitu Syamsu Syah, yang menyebutkan bahwa Syamsu Syah wafat pada 14 Muharram 737 Hijriah. Sebuah batu nisan lagi yang ditemukan di Kuta Alam adalah makam Raja Ibrahim yang kemudian diketahui bahwa ia adalah adik dari Sultan Ali Mughayat Syah.Menurut catatan yang tergurat dalam prasasti itu, Raja Ibrahim meninggal dunia pada 21 Muharram tahun 930 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 30 November 1523. Raja Ibrahim merupakan tangan kanan Sultan Ali Mughayat Syah yang paling berani dan setia. Ibrahimlah yang memimpin serangan-serangan Aceh Darussalam terhadap Portugis, Pedir, Daya, dan Samudera Pasai, hingga akhirnya Ibrahim gugur sebagai pahlawan dalam pertempuran besar itu.
Tanggal-tanggal yang ditemukan di prasasti-prasasti di atas dengan sendirinya mengandung arti untuk dijadikan pegangan dalam menentukan jalannya catatan sejarah di Aceh dalam masa-masa yang dimaksud (H. Mohammad Said a, 1981:157).Aceh adalah wilayah yang besar dan dihuni oleh beberapa pemerintahan besar pula.Selain Kesultanan Aceh Darussalam dan Samudera Pasai, di tanah ini telah berdiri pula Kerajaan Islam Lamuri selain Kesultanan Malaka yang memiliki peradaban besar di Selat Malaka. Kemunculan Kesultanan Aceh Darussalam tidak lepas dari eksistensi Kerajaan Islam Lamuri. Salah seorang sultan yang terkenal dari Kerajaan Islam Lamuri adalah Sultan Munawwar Syah. Sultan inilah yang kemudian dianggap sebagai moyangnya Sultan Aceh Darussalam yang terhebat, yakni Sultan Iskandar Muda. Pada akhir abad ke-15, dengan terjalinnya suatu hubungan baik dengan kerajaan tetangganya, maka pusat singgasana Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Mahkota Alam, yang dalam perkembangannya menjadi Kesultanan Aceh Darussalam (Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo a, 2006:72-73).Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam ternyata tidak termasuk dalam sejarah Islam pada umumnya dalam keseluruhan sejarah universal. Dalam hikayat Aceh seperti yang dianalis Denys Lombard dalam bukunya yang berjudul “Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)”, bab mengenai Kesultanan Aceh Darussalam hanyalah satu keping dari pekerjaan tatahan, satu batu dari gedung yang lebih besar, tetapi tertumpu pada tokoh satu orang, yaitu Sultan Iskandar Muda. Sultan terbesar dari Aceh ini justru bukan merupakan pemimpin dari generasi awal Kesultanan Aceh Darussalam. Meski siapa penulis Hikayat Aceh tidak diketahui dan tidak tersimpan pula tanggal mengenai penyusunan karyanya, namun bisa dikatakan bahwa Hikayat Aceh tersebut disusun selama masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan bahwa raja itu menyuruh salah seorang pujangga istananya untuk menyusun riwayat hidupnya (Denys Lombard, 2007:43).Mengenai asal-usul Aceh sendiri masih belum dapat dikuak dengan jelas karena, selain banyaknya versi, sedikit banyak sumber yang menjelaskan tentang riwayat Aceh masih sebatas mitos atau cerita rakyat. Masih menurut Lombard, sumber sejarah mengenai asal-usul Aceh yang berupa cerita-cerita turun-temurun tersebut sukar diperiksa kebenarannya.Mitos tentang orang Aceh, tulis Lombard, misalnya seperti yang dikisahkan oleh seorang pengelana Barat yang sempat singgah di Aceh. John Davis, nama musafir itu, mencatat bahwa orang Aceh mengganggap diri mereka keturunan dari Imael dan Hagar (Nabi Ismail dan Siti Hajar). Tiga abad kemudian, Snouck Hugronje mengungkapkan bahwa dia telah mendengar cerita tentang seorang ulama sekaligus hulubalang bernama Teungku Kutakarang (wafat pada November 1895), yang menganggap orang Aceh lahir dari percampuran dari orang Arab, Persi, dan Turki. Menurut analisis Lombard, hegemoni semacam ini sengaja diciptakan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Eropa (Lombard, 2007:62).
Dalam buku karya Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo yang berjudul “Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh” (2006), dikemukakan bahwa yang disebut Aceh ialah daerah yang sempat dinamakan sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sebelumnya bernama Provinsi Daerah Istimewa Aceh). Tetapi pada masa Aceh masih sebagai sebuah kerajaan/kesultanan, yang dimaksud dengan Aceh ialah yang sekarang dikenal dengan Kabupaten Aceh Besar atau dalam bahasa Aceh disebut Aceh Rayeuk Untuk nama ini, ada juga yang menyebutkan nama “Aceh Lhee Sagoe” (Aceh Tiga Sagi). Selain itu, terdapat pula yang menggunakan Aceh Inti (Aceh Proper) atau “Aceh yang sebenarnya” karena daerah itulah yang pada mulanya menjadi inti Kesultanan Aceh Darussalam dan juga letak ibukotanya,” untuk menamakan Aceh.
2.2.1 Masa Keemasan di Masa Sultan Iskandar Muda
Pada awal abad ke-16 Aceh adalah daerah kekuasaan pedir. Akibat jatuhnya kekuasaan Malaka ke tangan Portugis, perkembangan Aceh dari kota pelabuhan semakin cepat karena perdangan-perdagangan islam pada umumnya memilih aceh sebagai tempat berdagang, ketika diperintah oleh Sultan Ibrahim, Aceh memisahkan diri dar Pedir. Sejak itu aceh berkembang sebagai kerajaan islam yang mempunyai peranan penting dalam perdagangsn karena letaknya yang sangat strategis karena di jalur perdagangan. Dengan demikian aceh, menjadi saingan bagi portugis di malaka maupun kerajaan lain di sekitarnya. Puncak kejayaan aceh terjadi ketika diperintah oleh Sultan Iskandar Muda yang memerintah dari tahun 1607 sampai tahun 1636 wilayahnya sangat luas sampai ke semenanjung Malaya. Pada masa pemerintahannya, agama islma berkembang pesat.3)Ketika Houtman bersaudara beserta rombongan armada Belanda tiba di Aceh, hubungan yang terjalin antara Aceh dan Belanda berlangsung dengan kedudukan yang setara, terutama dalam hal urusan perniagaan dan diplomatik (Isa Sulaiman, eds. 2003:5). Mengenai hubungan perdagangan, de Houtman bersaudara atas nama kongsi dagang Belanda, meminta kepada Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal sebagai pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam, agar diperbolehkan membawa lada dan rempah-rempah dari Aceh. Sebagai gantinya, de Houtman berjanji akan membantu Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal untuk memukul Johor yang saat itu sedang berseteru dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Selama Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal memerintah selama 20 tahun, Kesultanan Aceh Darussalam terus-menerus terlibat pertikaian besar dengan Kesultanan Johor. Perselisihan antara Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal dan de Houtman mulai timbul ketika orang-orang Belanda yang berada di Aceh mulai bersikap tidak sopan. Frederick de Houtman beberapa kali mengatakan kebohongan ketika berbicara dengan Sultan Aceh Darussalam.Salah satu tindakan dusta yang dilakukan Frederick de Houtman adalah ketika Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal menanyakan di mana letak negeri Belanda dan berapa luasnya.Frederick de Houtman lalu membuka peta bumi dan ditunjukkanlah pada Sultan bahwa negeri Belanda itu besar, meliputi hampir seluruh benua Eropa, yakni antara Moskow (Rusia) sampai dengan Venezia (Italia). Akan tetapi Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal tidak begitu saja percaya terhadap bualan Frederick de Houtman itu. Secara diam-diam, Sultan bertanya kepada orang Portugis bagaimana sebetulnya negeri Belanda itu. Orang Portugis tersebut tentu saja menjawab yang sebenarnya bahwa negeri Belanda hanya satu bangsa kecil, bahwa negeri Belanda adalah negeri yang tidak punya raja (karena pada waktu itu Belanda merupakan negara republik yang baru saja dicetuskan, yakni Bataafsche Republik.Berbagai nama dan gelar ini menunjukkan betapa mashurnya Sultan Iskandar Muda, baik di dalam maupun di luar Aceh, di dalam dan di luar kepulauan nusantara, sejak masa itu dan untuk beberapa waktu lamanya, bahkan hingga kini. Di dalam negeri Aceh sendiri tidak ada seorang putra Aceh yang tidak mengenal nama ini dari masa itu. Tiap-tiap orang sampai ke pelosok, tahu siapa Iskandar Muda, demikian sejak beratus-ratus tahun hingga sekarang (Said a, 1981:282).Setelah berjaya menduduki tahta tertinggi Kesultanan Aceh Darussalam, Perkasa Alam yang bergelar Sultan Iskandar Muda segera merancang program untuk meluaskan wilayah Kesultanan Aceh Darussalam. Beberapa misi yang diusung dalam rangka program tersebut adalah antara lain :
Menguasai seluruh negeri dan pelabuhan di sebelah-menyebelah Selat Malaka, dan menetapkan terjaminnya wibawa atas negeri-negeri itu sehingga tidak mungkin kemasukan taktik licik pemecah-belah “devide et impera” yang diterapkan kaum penjajah dari Barat.
Memukul Johor supaya tidak lagi dapat ditunggangi oleh Portugis ataupun Belanda.
Memukul negeri-negeri di sebelah timur Malaya, sejauh yang merugikan pedagang-pedagang Aceh dan usahanya untuk mencapai kemenangan dari musuh, seperti Pahang, Patani, dan lain-lain.
Memukul Portugis dan merampas Malaka.
Menaikkan harga pasaran hasil bumi untuk ekspor, dengan jalan memusatkan pelabuhan samudera ke satu pelabuhan di Aceh, atau sedikit-dikitnya mengadakan pengawasan yang sempurna sedemikian rupa sehingga kepentingan kerajaan tidak dirugikan (Said a, 1981:285).5)
2.2.2 Keruntuhan Kesultanan Aceh Darussalam
Kesultanan Aceh Darussalam pernah pula dipimpin oleh seorang raja perempuan. Ketika Sultan Iskandar Tsani mangkat, sebagai penggantinya adalah Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin alias Puteri Sri Alam, istri dari Sultan Iskandar Tsani yang juga anak perempuan Sultan Iskandar Muda. Ratu yang dikenal juga dengan nama Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam ini memerintah Kesultanan Aceh Darussalam selama 34 tahun (1641-1675). Masa pemerintahan Sang Ratu diwarnai dengan cukup banyak upaya tipu daya dari pihak asing serta bahaya pengkhianatan dari orang dalam istana. Masa pemerintahan Ratu Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin selama 34 tahun itu tidak akan bisa dilalui dengan selamat tanpa kebijaksanan dan keluarbiasaan yang dimiliki oleh Sang Ratu. Dalam segi ini, Aceh Darussalam bisa membanggakan sejarahnya karena telah mempunyai tokoh wanita yang luar biasa di tengah rongrongan kolonialis Belanda yang semakin kuat.Pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam sepeninggal Ratu Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin yang wafat pada 23 Oktober 1675 masih diteruskan oleh pemimpin perempuan hingga beberapa era berikutnya. Adalah Sri Paduka Putroe dengan gelar Sultanah Nurul Alam Nakiatuddin Syah yang menjadi pilihan para tokoh adat dan istana untuk memegang tampuk pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam yang selanjutnya. Konon, dipilihnya Ratu yang juga sering disebut dengan nama Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam ini dilakukan untuk mengatasi usaha-usaha perebutan kekuasaan oleh beberapa pihak yang merasa berhak. Namun pemerintahan Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam hanya bertahan selama 2 tahun sebelum akhirnya Sang Ratu menghembuskan nafas penghabisan pada 23 Januari 1678. Dua pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam setelah Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam masih dilakoni kaum perempuan, yaitu Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688), dan kemudian Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699).6)
2.3 Silsilah
Sepanjang riwayat dari awal berdiri hingga keruntuhannya, Kesultanan Aceh Darussalam tercatat telah berganti sultan hingga tigapuluh kali lebih. Berikut ini silsilah para sultan/sultanah yang pernah berkuasa di Kesultanan Aceh Darussalam :
• Sulthan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
• Sulthan Salah ad-Din (1528-1537)
• Sulthan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1537-1568)
• Sulthan Husin Ibnu Sultan Alauddin Ri`ayat Syah (1568-1575)
• Sulthan Muda (1575)
• Sulthan Sri Alam (1575-1576)
• Sulthan Zain Al-Abidin (1576-1577)
• Sulthan Ala al-din mansyur syah (1576-1577)
• Sulthan Buyong atau Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra (1589-1596)
1. Sulthan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu (1596-1604)
2. Sulthan Ali Riayat Syah (1604-1607)
3. Sulthan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636)
4. Sulthan Iskandar Tsani (1636-1641)
5. Sulthanah (Ratu) Tsafiatu’ ddin Taj ‘Al-Alam / Puteri Sri Alam (1641-1675)
6. Sulthanah (Ratu) Naqi al-Din Nur Alam (1675-1678)
7. Sulthanah (Ratu) Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
8. Sulthanah (Ratu) Kamalat Sayah Zinat al-Din (1688-1699)
9. Sulthan Badr al-Alam Syarif Hasyim Jamal al-Din (1699-1702)
10. Sulthan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
11. Sulthan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
12. Sulthan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
13. Sulthan Syams al-Alam (1726-1727)
14. Sulthan Ala al-Din Ahmad Syah (1723-1735)
15. Sulthan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760)
16. Sulthan Mahmud Syah (1760-1781)
17. Sulthan Badr al-Din (1781-1785)
18. Sulthan Sulaiman Syah (1785-1791)
19. Sulthan Alauddin Muhammad Daud Syah (1791-1795)
20. Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1795-1815)
21. Sulthan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
22. Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1818-1824)
23. Sulthan Muhammad Syah (1824-1838)
24. Sulthan Sulaiman Syah (1838-1857)
25. Sulthan Mansyur Syah (1857-1870)
26. Sulthan Mahmud Syah (1870-1874)
27. Sulthan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
2.4 Wilayah Kekuasaan
Daerah-daerah yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam, dari masa awalnya hingga terutama berkat andil Sultan Iskandar Muda, mencakup antara lain hampir seluruh wilayah Aceh, termasuk Tamiang, Pedir, Meureudu, Samalanga, Peusangan, Lhokseumawe, Kuala Pase, serta Jambu Aye.Selain itu, Kesultanan Aceh Darussalam juga berhasil menaklukkan seluruh negeri di sekitar Selat Malaka termasuk Johor dan Malaka, kendati kemudian kejayaan pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda mulai mengalami kemunduran pasca penyerangan ke Malaka pada 1629.Selain itu, negeri-negeri yang berada di sebelah timur Malaya, seperti Haru (Deli), Batu Bara, Natal, Paseman, Asahan, Tiku, Pariaman, Salida, Indrapura, Siak, Indragiri, Riau, Lingga, hingga Palembang dan Jambi. Wilayah Kesultanan Aceh Darussalam masih meluas dan menguasai seluruh Pantai Barat Sumatra hingga Bengkulen (Bengkulu). Tidak hanya itu, Kesultanan Aceh Darussalam bahkan mampu menaklukkan Pahang, Kedah, serta Patani. Pembagian wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda diuraikan sebagai berikut:
2.4.1. Wilayah Aceh Raja
Dibagi dalam tiga Sagoi (ukuran wilayah administratif yang kira-kira setara dengan kecamatan) yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala dengan gelar Panglima Sagoe, yaitu:
• Sagoe XXII Mukim,
• Sagoe XXV Mukim
• Sagoe XXVI Mukim.
Di bawah tiap-tiap Panglima Sagoe terdapat beberapa Uleebalang dengan daerahnya yang terdiri dari beberapa Mukim (ukuran wilayah administratif yang kira-kira setara dengan kelurahan/desa). Di bawah Uleebalang terdapat beberapa Mukim yang dipimpin oleh seorang kepala yang bergelar Imeum. Mukim terdiri dari beberapa kampung yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala dengan gelar Keutjhi.
2.4.2 Daerah Luar Aceh Raja
Daerah ini terbagi dalam daerah-daerah Uleebalang yang dipimpin oleh seorang kepala yang bergelar Uleebalang Keutjhi. Wilayah-wilayah di bawahnya diatur sama dengan aturan wilayah yang berlaku di Daerah Aceh Raja.
2.4.3 Daerah yang Berdiri Sendiri
Di dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam terdapat juga daerah-daerah yang tidak termasuk ke dalam lingkup Daerah Aceh Raja ataupun Daerah Luar Aceh Raja. Daerah-daerah yang berdiri di perintahkan oleh uleebalang untuk tunduk kepada Sultan Aceh Darussalam (hasjmy, 1961:3)
2.4.4 Sistem Pemerintahan
Ketika dipimpin oleh Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1577-1589), Kesultanan Aceh Darussalam sudah memiliki undang-undang yang terangkum dalam kitab Qanun Syarak Kesultanan Aceh Darussalam. Undang-undang ini berbasis pada Al-Quran dan Hadits yang mengikat seluruh rakyat dan bangsa Aceh. Di dalamnya, terkandung berbagai aturan mengenai kehidupan bangsa Aceh, termasuk syarat-syarat pemilihan pegawai kerajaan. Namun, fakta sejarah menunjukkan, walaupun Aceh Darussalam telah memiliki undang-undang, ternyata belum cukup untuk menjadikannya sebagai sebuah kerajaan konstitusional.
2.3.5. Kondisi Sosial-Ekonomi
Penduduk Aceh sangat gemar berniaga. Mereka berbakat dagang karena memiliki cukup banyak pengalaman dalam bidang tersebut. Selain itu, kebanyakan masyarakat Aceh juga ahli dalam sektor pertukangan. Banyak di antara penduduk Aceh yang bermatapencaharian sebagai tukang emas, tukang meriam, tukang kapal, tukang besi, tukang jahit, tukang periuk, tukang pot, dan juga suka membuat berbagai macam minuman. Mengenai alat transaksi yang digunakan, pada sekitar abad ke-16, masyarakat Aceh yang bernaung di bawah pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam sudah mengenal beberapa jenis mata uang.
2.3.6Awal Berkembangnya Hukum Adat Di Aceh
Sebelum menelusuri lebih jauh tentang perkembangan hukum adat di Aceh, terlebih dahulu perlu diketahui pengertian adat itu sendiri. Adapun kata “adat” adalah kata serapan dari bahasa Arab yang secara termonilogi berarti peraturan yang telah berlaku turun-temurun dari zaman dahulu dan masih ditaati oleh masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat mempunyai beberapa arti, 1) aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala, 2) kebiasaan ; cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan, 3) cukai menurut peraturan yang berlaku (di pelabuhan dan sebagainya), dan 4) wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Sedangkan adat-istiadat adalah tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi ke generasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat.
2.3.7 Hukum Adat Berbasis Agama
Adat bersendi syara’, syara’ bersendi adat adalah falsafah yang menjadi simbol pelaksanaan kehidupan bermasyarakat di Aceh. Ketika hukum adat kuat, maka hukum agama juga kuat. Begitu juga sebaliknya. Agama bersumber dari Al-Quran dan hadits, sedangkan adat bersumber dari Sultan dengan musyawarah yang digali berdasarkan sumber keagamaan. Sehingga banyak adat Aceh yang tidak lepas dari pengaruh syara’.Hukum adat berbasis agama sebagai aplikasi kehidupan bermasyarakat sangat efektif dijalankan. Proses sosialisasi diterapkan seiring pelaksanaannya yang diikuti oleh seluruh masyarakat karena memang untuk kepentingan bersama. Sultan Iskandar Muda berhasil merumuskan beberapa rumusan adat Aceh. Dalam tulisan ini ada beberapa ketentuan hukum adat yang berbasiskan agama sebagai bahan muqaranah (perbandingan) terhadap penerapan syari’at Islam model pemerintahan Sultan
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kerajaan Aceh merupakan kerajaan bercorak Islam yang letaknya sangat strategis di jalur pelayaran dan perdagangan internasional. Aceh juga memiliki daerah kekuasaan yang sangat luas, sehingga Kerajaan ini sangan maju terutama di bidang perekonomiannya. Perkembangannya sangat pesat terlebih saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Dibawah kepemimpinannya, kerajaan Aceh tumbuh menjadi kerajaan yang besar dan berkuasa atas perdagangan Islam. Bahkan telah menjadi Bandar transito yang dapat menghubungkan seluruh pedagang dunia barat.
Daftar Pustaka
• Hasjmy, A. 1961. Ichtiar Susunan dan Sistem Keradjaan Atjeh di Zaman Sultan Iskandar Muda. Banda Aceh: Tidak Diterbitkan.
• Langen, van, K.F.H. 1986. Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan. Alih Bahasa oleh Aboe bakar. Banda Aceh: Dokumentasi dan Informasi Aceh
• Lombard, Denys. 2007. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
• Said, Mohammad, H., a. 1981. Aceh Sepanjang Abad (Jilid Pertama). Medan: PT Percetakan dan Penerbitan Waspada medan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar